Barangkali tak ada fasilitas riset astronomi di seantero kolong langit yang setenar HAARP, khususnya dalam tahun-tahun belakangan ini tatkala isu Kiamat 2012 menyeruak. Setiap kali terjadi bencana berskala besar yang merenggut banyak korban jiwa, HAARP senantiasa menjadi magnet bagi sejumlah teori konspirasi bombastis yang sensasional. HAARP dianggap sebagai stasiun sangat-super-rahasia yang hanya boleh dimasuki agen-agen rahasia tingkat tinggi dari negara adidaya yang berambisi mendominasi dunia sepenuhnya dalam mewujudkan suatu tatanan baru untuk kepentingannya.
Fasilitas HAARP dianggap sebagai bagian dari upaya manipulasi dan penguasaan fenomena alam yang sulit ditangani seperti gempa bumi, tsunami, badai/topan, banjir dan kelaparan. Aktivitas HAARP bahkan dituding sebagai penyebab jatuhnya pesawat komersial tertentu, pemadaman listrik, penyakit fisik dan mental pada manusia seperti sindrom kelelahan kronis dan sindrom Perang Teluk serta mengontrol perasaan (mood) manusia. Anggapan semacam itu bukan hanya beredar kalangan publik biasa, karena tokoh sekaliber presiden Hugo Chavez (Venezuela) pun meyakininya. Bahkan Chavez menganggap HAARP bertanggung jawab atas Gempa Haiti 2010, gempa paling mematikan di benua Amerika sepanjang sejarah dengan lebih dari 80.000 nyawa terenggut. Terakhir, HAARP juga dituding berada di balik munculnya badai Sandy yang merenggut lebih dari 160 nyawa sembari memporak-porandakan kawasan Karibia dan pantai timur AS termasuk metropolitan New York, dengan total kerugian sedikitnya mencapai US $ 20 milyar (Rp 180 trilyun, berdasarkan kurs US $ 1 = Rp 9.000).
Namun, apa sih sebenarnya HAARP itu?
Ionosfer
HAARP adalah High-frequency Active Auroral Research Program, yakni suatu program riset gabungan (termasuk menyertakan unsur astronomi) terhadap atmosfer Bumi khususnya lapisan ionosfer secara aktif (menggunakan sumber energi sendiri). Tujuannya adalah untuk menganalisa dinamika ionosfer dan menyelidiki potensinya bagi pengembangan teknologi lanjut guna peningkatan kemampuan komunikasi radio dan pemantauan. Program riset ini bersifat non-rahasia (unclassified), meski sebagian dananya berasal dari anggaran militer AS yang dikucurkan ke AU (Air Force Research Laboratory) dan AL (Office of Naval Research). Sementara sisanya didanai University of Alaska dan DARPA (Defense Advanced Research Projects Agency).
University of Alaska turut berperan karena HAARP memang berlokasi di Alaska, yakni di dekat Gakona (pedalaman di sebelah timur laut Anchorage), tepatnya pada koordinat 62° 23’ LU 145° 09’ BB. Sifat non-rahasianya membuat banyak institusi ilmiah prestisius turut berpartisipasi merancang dan membangun instrumen sekaligus terlibat dalam riset jangka panjang, seperti UCLA, Stanford University, John Hopkins University, Massachussets Institute of Technology, Polytechnic Institute of New York University dan bahkan dari mancanegara seperti University of Tokyo (Jepang).
Program ini mulai dirintis sejak 1990 meski pembangunannya baru dimulai pada 1993 memanfaatkan bekas kompleks stasiun radar OTH (Over The Horizon) milik AU AS yang semula menjadi unit deteksi dini pergerakan pesawat-pesawat militer Uni Soviet, namun kemudian ditutup setelah Perang Dingin berakhir. Hingga 2008, pembangunan dan penelitian di fasilitas HAARP menelan biaya rata-rata US $ 14 juta/tahun. Ini terhitung murah, katakanlah jika dibandingkan program peluncuran wahana antariksa tak berawak ke planet lain maupun pembangunan observatorium terkini. Guna membangun, mengirim dan mengoperasikan robot penjelajah Mars yang pertama bertajuk Mars Pathfinder saja dibutuhkan biaya sebesar US $ 93 juta/tahun dalam kurun waktu 1994-1997. Apalagi robot termutakhir seperti Curiosity.
Meski demikian, dengan sebagian pendanaan dari militer AS dan menempati lokasi bekas stasiun radar AU AS, tak pelak sejak awal HAARP telah dicurigai khususnya sebagai fasilitas sangat-super-rahasia, khususnya oleh pemuja teori konspirasi. Adalah Nick Begich yang memantiknya lewat Angels Don’t Play This HAARP (1997). Walaupun warga Alaska, Begich sendiri ternyata tak pernah mengunjungi HAARP. Sementara sebagai program riset non-rahasia, HAARP sendiri membuka kesempatan bagi siapapun termasuk dari mancanegara untuk mengunjungi fasilitasnya dalam setiap program kunjungan musim panas. Asimetri ini, antara prinsip keterbukaan HAARP di satu sisi dengan keengganan Begich dan penulis-penulis konspirasi lainnya untuk mengunjunginya di sisi lain, membuat kita mempertanyakan apakah tulisan-tulisan konspiratif tentang HAARP merupakan tulisan berkadar ilmiah atau lebih sekedar imajinasi liar penulisnya dengan klaim-klaim yang patut dipertanyakan.
Instrumen dan Riset
HAARP memiliki instrumen utama berupa 180 antenna radio frekuensi tinggi yang menempati lahan seluas 13 hektar dengan konfigurasi 12 x 15 unit. Antenna ini mentransmisikan gelombang radio berfrekuensi 2,7 hingga 10 MHz yang bisa diatur dalam bentuk sinyal kontinu maupun diskret, dengan energi 3,6 megawatt. Sinyal tersebut memiliki intensitas maksimum sebesar 3,6 mikrowatt per sentimeter persegi, atau setara sepersepuluh ribu intensitas cahaya Matahari yang diterima atmosfer Bumi.
Sinyal dipancarkan ke lapisan ionosfer pada luasan tertentu guna menjalankan eksperimen pemanasan ionosfer, yakni upaya stimulasi atom-atom Oksigen dan Nitrogen pada lapisan ionosfer menggunakan energi gelombang radio untuk dipelajari bagaimana lapisan ionosfer pada bagian tersebut meresponnya. Stimulasi ini pada dasarnya sama dengan proses stimulasi oleh partikel-partikel angin/badai Matahari yang membentuk aurora. Sehingga eksperimen pemanasan ionosfer sering disebut sebagai eksperimen aurora buatan yang skalanya jauh lebih kecil dibanding aurora sesungguhnya.
Mayoritas riset HAARP tergolong riset dasar yang bertujuan memahami lapisan ionosfer lebih lanjut. Meski telah menjadi bahan penyelidikan selama hampir seabad terakhir dan bahkan telah dimanfaatkan secara luas dalam komunikasi radio jarak jauh mengingat sifatnya sebagai pemantul gelombang radio tertentu, namun pengetahuan terkini tentang lapisan ionosfer masih sangat terbatas. Bagaimana variasi dinamikanya dan kompleksitasnya terhadap skala waktu mulai dari menit ke menit, dari hari ke hari, dari musim ke musim hingga dari tahun ke tahun belum banyak dipahami.
Di sisi lain, penyelidikan lapisan ionosfer secara langsung dengan cara menempatkan instrumen di sana dalam waktu tertentu (misalnya seminggu atau sebulan) sangatlah sulit. Ini mengingat ketersediaan teknologi saat ini, yakni balon udara dan satelit, sama-sama tak layak untuk ditempatkan di dalam ionosfer. Balon udara tak sanggup menjangkau ionosfer karena udara sangat tipis baginya Sebaliknya satelit juga tak bisa mengorbit melintasinya karena kepadatan molekul-molekul udara masih tergolong besar sehingga gaya hambat atmosferiknya cukup besar yang membuat orbit satelit langsung terkoreksi untuk kemudian meluruh dan jatuh kembali ke Bumi.
Riset pemanasan ionosfer dilaksanakan dalam bentuk modulasi ionosfer, observasi emisi stimulasi (mirip aurora) dari elektron di ionosfer, airglow serta gelombang radio berfrekuensi sangat rendah (VLF) dan ekstra rendah (ELF) yang diproduksi ionosfer. Beberapa riset astronominya misalnya observasi meteor dengan gelombang radio non cahaya, ujicoba pantulan gema radar dari Bulan, observasi dampak meteor terhadap dinamika ionosfer, observasi respons dan pemulihan ionosfer terhadap badai Matahari dan badai geomagnetik serta observasi efek gangguan ionosfer terhadap kualitas sinyal satelit navigasi seperti GPS.
Mengapa riset yang dilakukan HAARP bertempat di Alaska? Lokasi terbaik penyelidikan ionosfer dan kinerja aurora hanyalah di kawasan yang berdekatan dengan kutub-kutub geomagnet. Dan dalam ranah praktis, hanya titik-titik di sekitar lingkar kutub utara geografis saja yang memenuhi syarat. Dan HAARP bukanlah satu-satunya fasilitas riset sejenis. Di Eropa terdapat stasiun riset Tromso (Norwegia) yang memiliki daya lebih besar, yakni 1 gigawatt. Sementara Rusia mengoperasikan fasilitas Sura (Vasilsurk) dengan daya juga lebih besar, yakni 190 megawatt.
Pembuat Bencana?
Dengan segala aktivitas HAARP, benarkah fasilitas ini bisa dimanfaatkan guna membangkitkan sejumlah peristiwa seperti gempa bumi, tsunami, badai/topan maupun banjir?
Sayangnya tidak. Meski terkesan menyeramkan, namun dasar-dasar eksperimen pemanasan ionosfer sebenarnya ada bangku sekolah menengah kita. Pada dasarnya, atom memiliki kulit berlapis-lapis dengan tiap lapisan kulit ditempati elektron-elektron berenergi tertentu. Elektron tersebut dapat berpindah tempat dari kulit lebih dalam (lebih dekat ke inti atom) menuju kulit lebih luar (yang lebih jauh dari inti atom) dalam proses promosi yang membutuhkan tambahan energi dari luar. Secara harfiah penambahan energi ini disebut pemanasan, karena memang menyebabkan suhu naik. Sebaliknya elektron juga dapat mengalami proses eksitasi dengan berpindah dari kulit lebih luar ke kulit lebih dalam. Proses eksitasi ditandai dengan pelepasan energi, yang umumnya berupa foton baik dalam bentuk cahaya maupun gelombang elektromagnetik lebih panjang.
Pemanasan ionosfer merupakan proses promosi atom-atom Nitrogen dan Oksigen lapisan ionosfer menggunakan sinyal gelombang radio pada frekuensi 2-10 MHz. Sebagai akibatnya terjadilah proses eksitasi yang memancarkan gelombang radio pada beragam spektrum gelombang. Gelombang radio inilah yang ditangkap antenna HAARP guna dianalisis lebih lanjut.
Maka, aktivitas HAARP hanya berfokus pada gelombang elektromagnetik. Interaksi gelombang elektromagnetik dengan materi terbatas pada proses promosi-eksitasi dan produksi pasangan partikel-antipartikel dalam skala atomik. Proses itupun hanya berlangsung intensif jika gelombang radionya memiliki spektrum frekuensi sangat tinggi dalam rupa sinar-X maupun gamma, sehingga keduanya dikenal sebagai sinar pengion. Gelombang radio yang memiliki frekuensi lebih rendah tidak bersifat pengion.
Meskipun terjadi proses promosi-eksitasi dan produksi pasangan, namun tidak mungkin untuk mengakumulasikan energinya dalam satu titik tertentu di atmosfer, apalagi mentransfernya ke medium lain yang sama sekali berbeda. Tak ada mekanisme fisis untuk melakukannya. Karena itu sangat sulit untuk mengaitkan sinyal gelombang radio HAARP dengan akumulasi energi, apalagi jika akumulasi energi tersebut kemudian dianggap sebagai pemicu bencana alam. Di sisi lain, andaikata terjadi akumulasi energi akibat sinyal HAARP, maka terdapat problem keterbatasan waktu yang membuat energi akumulatifnya jauh lebih kecil ketimbang energi yang dilepaskan suatu bencana alam.
Studi Kasus: Gempa
Untuk jelasnya mari kita lakukan perhitungan sederhana dalam studi kasus gempa bumi. Pada dasarnya gempa bumi adalah pelepasan energi seismik dalam tempo singkat yang merambat di tubuh Bumi sebagai gelombang seismik. Sebuah gempa bumi disebut gempa besar jika magnitudo minimalnya adalah 7 skala Richter, angka yang setara dengan pelepasan energi sebesar 476 kiloton TNT atau 1.990 trilyun Joule.
Mari anggap sinyal gelombang radio dapat diakumulasikan di atmosfer untuk kemudian pada suatu saat dilepaskan secara spontan sehingga menghasilkan energi akustik. Mengambil analogi meledaknya meteor di ketinggian atmosfer yang mampu menggetarkan permukaan Bumi, maka penjalaran gelombang akustik di atmosfer mampu memicu penjalaran gelombang Rayleigh (salah satu gelombang gempa) di kerak Bumi, dengan rasio antara energi akustik berbanding energi gempa adalah 5.000.000 : 1. Dengan demikian untuk menghasilkan energi seismik 1.990 trilyun Joule, dibutuhkan energi akustik luar biasa besar, yakni mencapai 9.950 juta trilyun Joule.
Mari anggap energi akustik sebesar ini merupakan hasil konversi 100 % dari energi yang diakumulasikan sinyal gelombang radio HAARP. Dengan energi HAARP sebesar 3,6 megawatt (3,6 juta Joule per detik), guna mencapai angka sebesar 9.950 juta trilyun Joule maka HAARP harus terus-menerus dinyalakan selama 2.760 trilyun detik atau setara 87 juta tahun! Dengan demikian HAARP harus sudah dibangun dan dinyalakan sejak masa dinosaurus masih bergentayangan merajai sudut-sudut Bumi! Ini sama sekali tak masuk akal mengingat faktanya HAARP baru dibangun pada 1990.
Studi Kasus: Badai
Lewat langkah serupa kita juga bisa melakukan perhitungan sederhana untuk studi kasus badai tropis. Pada dasarnya badai tropis, atau lebih dikenal sebagai badai (saja) atau topan, adalah mekanisme unik atmosfer untuk mendistribusikan ketimpangan energi antara kawasan tropis dengan subtropis seiring gerak semu tahunan Matahari. Sebagai agen distribusi energi regional, maka kandungan energi yang dibawa badai tropis amat besar. Sebuah badai tropis yang mencakup area berbentuk lingkaran dengan dimensi 1.330 km yang mampu mencucurkan curah hujan 150 mm/hari dengan kecepatan pusaran angin 144 km/jam memiliki energi sebesar 30 hingga 12.400 megaton TNT atau 63 hingga 26.000 kali lipat lebih besar ketimbang energi yang dilepaskan gempa 7 skala Richter.
Untuk energi badai tropis sebesar 30 megaton TNT dan dengan asumsi energi sebesar itu adalah hasil konversi 100 % dari energi yang diakumulasikan sinyal gelombang radio HAARP, maka HAARP harus terus-menerus dinyalakan selama 5,4 milyar tahun! Dengan kata lain, perhitungan ini menunjukkan HAARP harus sudah beroperasi bahkan sejak tata surya kita belum lahir. Sekali lagi, jelas ini tak masuk akal.
Dua contoh perhitungan sederhana tersebuit memperlihatkan upaya mengaitkan HAARP dengan bencana alam sama sekali tak masuk akal. Sehingga tak ada hubungan antara HAARP dengan berbagai bencana yang terjadi di sekujur penjuru Bumi.
Referensi : haarp.alaska.edu; koehler, 1999; Scienceinschool.org, 2012